- Disampaikan Pada Acara Sosialisasi Permendagri Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan Ir. OBER TUA BUTARBUTAR PENGEMBANGAN KAWASAN PERKOTAAN 27-28 Mei 2008 Hotel Poencer, Cisarua Bogor
- Perencanaan Kawasan Perkotaan Baru Peremajaan Kawasan Perkotaan Reklamasi Pantai Perubahan Pemanfaatan Lahan BAB IV - PENGEMBANGAN KAWASAN PERKOTAAN
- Perencanaan Kawasan Perkotaan Baru Prioritas pertimbangan Persyaratan Mekanisme Penetapan Lokasi Pengelolaan Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru
- memecahkan permasalahan kepadatan penduduk akibat urbanisasi;
- menyediakan ruang baru bagi kebutuhan industri, perdagangan dan jasa; dan
- menyediakan ruang bagi kepentingan pengembangan wilayah di masa depan. (pasal 16)
- sesuai dengan sistem pusat permukiman perkotaan (RTRWN, RTRWP, RTRWK/K)
- termuat dalam RPJMD;
- memiliki daya dukung lingkungan, bukan kawasan yang rawan bencana alam;
- bukan kawasan pertanian beririgasi teknis;
- memiliki kemudahan penyediaan prasarana dan sarana perkotaan;
- tidak mengakibatkan pembangunan yang tidak terkendali dengan kawasan perkotaan disekitarnya;
- mendorong aktivitas ekonomi, sesuai fungsi dan perannya; dan
- mempunyai luas kawasan budi daya paling sedikit 400 hektar. (Pasal 17)
- Dapat diprakarsai oleh pihak swasta dan/atau pemerintah daerah;
- Lokasi diusulkan kepada Bupati.
- Pengajuan usulan lokasi dilampiri:
- hasil studi kelayakan;
- rencana induk pembangunan perkotaan baru; dan
- rencana pembebasan lahan.
- Rencana lokasi kawasan perkotaan baru yang berada di dua atau lebih Kabupaten yang berbatasan langsung ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten masing-masing.
- Penetapan lokasi kawasan perkotaan baru terlebih dahulu mendapat persetujuan Gubernur. (Pasal18)
- Rencana pembangunan kawasan perkotaan baru ditetapkan oleh kepala daerah dan dapat dibentuk Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru.
- Kawasan perkotaan baru yang berlokasi pada bagian dari dua atau lebih Kabupaten yang berbatasan langsung dilakukan atas dasar kerjasama antar daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pelaksanaan kerjasama antar daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru yang bertanggung jawab kepada masing-masing bupati.
- Masa tugas Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) sesuai dengan jangka waktu rencana pelaksanaan pembangunan kawasan perkotaan baru.
- Keanggotaan Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru terdiri atas unsur Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, masyarakat setempat, dan unsur pengembang.
- Struktur Organisasi, tugas dan tata kerja Badan Pengelola Pembangunan Kawasan Perkotaan Baru ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
- Keanggotaan, struktur organisasi, tugas dan tata kerja Badan Pengelola Pembangunan kawasan perkotaan baru yang berlokasi di dua atau lebih daerah Kabupaten yang berbatasan langsung diatur dengan Keputusan Bersama Bupati. (Ps. 19)
- PEREMAJAAN KAWASAN PERKOTAAN
- Pemerintah daerah dapat melakukan peremajaan bagian kawasan perkotaan.
- dapat dilakukan sepanjang tertuang dalam RPJMD dan RDTR.
- Peremajaan bagian kawasan perkotaan yang belum memiliki RDTR dan/atau tidak termuat dalam RPJMD terlebih dahulu memperoleh persetujuan DPRD (ps21)
- Bertujuan untuk:
- perbaikan dan perlindungan lingkungan;
- peningkatan kehidupan masyarakat setempat; dan
- pemenuhan standar pelayanan perkotaan (Ps. 22 ayat 1)
- Tidak diperkenankan :
- menghilangkan nilai-nilai sejarah bangunan, arsitektur dan budaya;
- merugikan kepentingan masyarakat setempat
- (Ps. 22 ayat 2)
- Mekanisme Perencanaan Peremajaan
- Dokumen rencana peremajaan bagian kawasan perkotaan disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah kabupaten/kota berdasarkan hasil studi kelayakan.
- Dokumen rencana memuat antara lain:
- latar belakang;
- tujuan dan sasaran;
- lokasi kegiatan;
- metodologi peremajaan;
- pengorganisasian;
- jadwal pelaksanaan;
- pendanaan.
- Dokumen rencana ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.
- Rencana peremajaan bagian kawasan perkotaan yang berada di dua atau lebih Kabupaten disusun secara bersama oleh Bappeda Kabupaten/kota yang bersangkutan dan ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota masing-masing. (Ps. 23)
- Rencana reklamasi pantai termuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota. (Ps. 24)
- Rencana reklamasi pantai sebelum dituangkan kedalam RTRW kabupaten/kota terlebih dahulu meminta persetujuan dari Menteri Dalam Negeri. (Ps. 25)
- Gubernur mengajukan usulan rencana reklamasi pantai kepada Menteri Dalam Negeri berdasarkan permohonan bupati/walikota dengan melampirkan:
- hasil studi kelayakan;
- Kajian Lingkungan Strategis (KLS);
- rencana pemanfaatan;
- rekomendasi Gubernur dan DPRD Propinsi; dan
- persetujuan Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/ Kota. (Ps. 26)
- Penyelenggaraan reklamasi pantai wajib memperhatikan kepentingan lingkungan, pelabuhan, kawasan pantai berhutan bakau, nelayan, dan fungsi- fungsi lain yang ada dikawasan pantai serta keberlangsungan ekosistem pantai sekitarnya.
- Bahan material untuk reklamasi pantai, diambil dari lokasi yang memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan. (Pasal 27)
- Bupati/Walikota bertanggungjawab dalam pelaksanaan reklamasi pantai.
- Gubernur bertanggungjawab dalam pelaksanaan reklamasi pantai untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
- Gubernur melaksanakan pembinaan, pengawasan dan mengkoordinasikan penyelenggaraan reklamasi pantai di wilayahnya.
- Menteri mengkoordinasikan dan memfasilitasi pengendalian umum pelaksanaan reklamasi pantai di tingkat nasional.
- Menteri teknis terkait bertanggungjawab untuk memberikan fasilitasi, supervisi dan pengendalian teknis di tingkat nasional. (Pasal 28)
- Acuan Dasar
- RDTR kabupaten/kota dengan memperhatikan:
- keberlangsungan fungsi kawasan,
- daya dukung dan kesesuaian lahan secara terpadu. (Ps. 30)
- Azas Perubahan
- keterbukaan,
- persamaan,
- Keadilan,
- pelestarian lingkungan; dan perlindungan hukum. (Ps. 29)
- Dasar Pertimbangan Perubahan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan RDTR
- keselarasan kebutuhan lahan untuk kegiatan ekonomi dengan keberlangsungan lingkungan
- (Ps.31 ayat 1)
- PERDA yang mengatur pertimbangan teknis Keselarasan Kebutuhan lahan, dan pola insentif dan disinsentif (Ps 31. ayat 2)
- PERAN SERTA M ASYARAKAT
- Masyarakat diikut sertakan Dalam :
- penyusunan rencana, pelaksanaan , pengelolaan dan pengawasan perencanaan kawasan perkotaan . (Ps. 33 ayat 1)
- beranggotakan unsur pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat perkotaan setempat .
- berperan serta dalam perumusan kebijakan dan strategi rencana kota.
- menyelenggarakan:
- musyawarah anggota forum;
- fasilitasi pengembangan dan peningkatan kemampuan wadah-wadah peran masyarakat;
- fasilitasi kegiatan dialog, tukar pendapat, jajak pendapat, dan dengar pendapat;
- penyebaran informasi;
- inventarisasi dan tindak lanjut usulan oleh masyarakat;
- fasilitasi keterlibatan masyarakat ;
- pemberian masukan
- pengusulan kebijakan-kebijakan . (Ps. 34)
- BAB VI
- KETENTUAN PERALIHAN
- Pasal 35
- Rencana kota yang telah disahkan tetap berlaku, sampai saat dilaksanakan evaluasi lima tahun pertama sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini.
- BAB VII
- KETENTUAN PENUTUP
- Pasal 36
- Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 1996 tentang Pedoman Perubahan Pemanfaatan Lahan Perkotaan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- Ditjen Bina Pembangunan Daerah DEPARTEMEN DALAM NEGERI
Sabtu, 19 Maret 2011
Pengembangan Kawasan Perkotaan
Rabu, 16 Maret 2011
Arsitektur Kota Anti Kota
“The city is the people” begitu ungkapan sebuah pepatah tua. Begitu dalam maknanya, namun begitu berat mengaplikasikannya. Di Jakarta, kehidupan kota lebih terbiasa diselami dari balik jendela mobil. Kasihan orang Jakarta. Sudah diberi iklim panas tropis, tidak ada pula sarana untuk berbudaya urban yang positif karena memang tidak pernah disediakan secara memadai. Tidak disediakan karena tidak menjadi prioritas. Tidak diprioritaskan karena kita umumnya tidak memiliki mentalitas membangun ruang publik.
Mentalitas anti budaya urban ini juga lahir dari lingkungan fisik yang dirancang para arsitek. Banyak arsitek yang memiliki proyek-proyek komersial dan dalam skala besar tidak memiliki sensitivitas terhadap konteks kota. Mereka hanya fokus pada arsitekturnya tidak pada konteksnya. Sehingga bermunculan belasan dan puluhan bangunan-bangunan anti urban yang semakin akut.
Apa ciri-ciri desain anti urban?
Fungsi non-publik di lantai dasar.
Salah satu ciri kota yang aktif secara positif adalah hadirnya fungsi-fungsi publik atau retail di lantai dasar sebuah bangunan. Di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, lantai dasar sebuah bangunan besar umumnya adalah ruang lobi formal yang tidak menyumbang apa-apa bagi kehidupan kota. Lihat Hong Kong. Sepanjang kita berjalan semua lantai dasar bangunan-bangunannya selalu diisi oleh toko, retail, kafé atau fungsi-fungsi publik yang membuat kota hidup dan atraktif sampai larut malam.
Kapling-kapling egois
Manusia sebagai mahluk sosial berkewajiban berperilaku sosial yang positif dan bertoleransi antar sesama. Begitu pula arsitektur kota. Seharusnya antar bangunan satu dengan lainnya bertoleransi dengan memberikan ruang untuk kelancaran publik bernegosiasi terhadap ruang kota. Di Bukit Bintang Walk di Kuala Lumpur, antar bangunannya tidak di kapling-kapling dan dibentengi ala Jakarta. Pedestrian di sana leluasa bergerak dari satu bangunan ke bangunan lain. Bahkan di Hong Kong antar bangunan dikoneksi dengan jembatan untuk publik.
Parkir dan drop-off di halaman depan.
Ruang paling berharga dalam konteks kota adalah ruang terbuka di depan bangunan, yaitu area dari batas lahan ke garis sempadan bangunan. Sayangnya para arsitek di Indonesia dengan rasa tidak bersalah selalu menjadikannya sebagai ruang parkir dengan drop-off formal. Parkir sebenarnya bisa langsung ke basemen dan drop-off bisa dari jalan samping atau di dalam kapling. Area inilah yang bisa berpotensi menjadi ruang sosial publik berupa ruang hijau, ruang duduk atau ruang luar dari sebuah kafe di lantai dasar. Perilaku desain ini yang dihadirkan di ratusan bangunan di kota-kota besar di Indonesia benar-benar mematikan potensi lahirnya kehidupan yang beradab dan aktif.COPYRIGHT@http://urbaneindonesia.blogspot.com/2008/07/arsitektur-kota-anti-kota.html
DEFINISI REVITALISASI
TEORI REVITALISASI DAN RANCANG KOTA
Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Intervensi fisik Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan (urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka panjang.
2. Rehabilitasi ekonomi Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P. Hall/U. Pfeiffer, 2001). Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).
3. Revitalisasi sosial/institusional Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga (public realms). Sudah menjadi sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan perancangan dan pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri (place making) dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik.
COPYRIGHT@http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/03/definisi-revitalisasi.html
Pelestarian Cagar Budaya
Menurut UU no 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, yang dimaksud dengan benda cagar budaya adalah : (dalam Bab 1 pasal 1)
1. benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun , serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
2. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
Sedangkan Situs adalah : lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.
Dalam bab 1 pasal 2 menyebutkan :
Perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Dalam Bab 2 Pasal 2 menyebutkan :
(!) semua benda cagar budaya dikuasai oleh Negara
(2) Penguasaan benda cagar budaya meliputi benda cagar budaya yang terdapat diwilayah hokum RI
Dalam Bab 8 Pasal 26 menyebutkan :
Barang siapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs dan lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan atau warna , memugar atau memisahkan benda cagar budaya tanpa ijin dari pemerintah dapat dipidana dengan pidana penjara selama lamanya 10 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 100 juta.
Pasal 27 menyebutkan :
Barang siapa dengan sengaja melakukan pencarian benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara menggali, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lain tanpa ijin pemerintah dapat dipidana dengan pidana penjara selama 5 tahun dan atau denda setingginya 50 juta.
Jenis Kegiatan Pelestarian
Piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1981 yaitu : Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance, Burra, Australia yang dikenal dengan Burra Charter.
Konservasi merupakan istilah yang menjadi payung dari semua kegiatan pelestarian sesuai dengankesepakatan internasional yang telah dirumuskan dalam piagam tersebut.
Beberapa batasan pengertian tentang istilah dasar pelestarian adalah :
1. Konservasi, adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna budayanya tetap terpelihara. Ini meliputi pemeliharaan dan sesuai dengan keadaan yang meliputi Preservasi, Restorasi, Rekonstruksi dan Adaptasi.
2. Pemeliharaan adalah perawatan yang terus menerus dari bangunan , makna dan penataan suatu tenmpat dan harus dibedakan dari perbaikan. Perbaikan mencakup restorasi dan rekonstruksi dan harus dilaksanakan sesuai dengannya.
3. Preservasi adalah mempertahankan (melestarikan ) yang telah dibangun disuatu tempat dalam keadaan aslinya tanpa ada perubahan dan mencegah penghancuran.
4. Restorasi adalah mengembalikan yang telah dibangun di suatu tempat ke kondisi semula yang diketahui, dengan menghilangkan tambahan atau membangun kembali komponen-komponen semula tanpa menggunakan bahan baru.
5. Rekonstruksi adalah membangun kembali suatu tempat sesuai mungkin dengan kondisi semula yang diketahui dan diperbedakan dengan menggunakan bahan baru atau lama.
6. Adaptasi adalah merubah suatu tempat sesuai dengan penggunaan yang dapat digabungkan.
Sedangkan Demolisi adalah penghancuran bangunan atau suatu tempat , tidak masuk dalam kategori pelestarian.
Skala dari Artefak yang dikonservasi
Skala atau lingkup konservasi dapat meliputi :
1. Suatu kota atau desa secara keseluruhan (historic town or village) misalnya desa adat Tenganan di Bali, Kampung Naga
2. Suatu daerah bagian kota (historic town distric) misalnya Kota Lama Semarang, Kompleks Keraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta
3. Bangunan atau karya arsitektur tunggal. Misalnya Lawang Sewu, Masjid Kauman
4. Rumah Museum (house Museum) rumah yang mempunyai nilai historis dan sudah tidak berfungsi sebagai rumah tetapi sebagai museum misalnya Rumah George Washington, Rumah Rengas Dengklok, Rumah Bung Karno di Peganggsaan Timur Jakarta.
5. Ruang Historic (Historic Room) sebuah ruang yang mempunyai nilai sejarah misalnya Surennder Room, ruang tempat jenderal jepang menyerah pada sekutu.
COPYRIGHT@http://pelestarian.blogspot.com/
Konsep Dasar Arsitektur Masjid
Pendahuluan
Nabi Muhammad Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu hadis bahwa “Seluruh permukaan bumi ini adalah tempat sujud” Maksudnya, adalah bahwa dimana saja tempat di muka bumi ini dapat digunakan untuk tempat shalat, tentunya tempat yang bersih dan tidak bemajis.
Dan untuk lebih tenang dan sesuai dengan ajaran Islam, dibangunlah masjid sebagai tempat untuk shalat. Masjid digunakan untuk shalat bersama-sama (berjamaah) yang menurut ajaran Islam lebih baik dari pada shalat sendiri-sendiri (mufarid).
Masjid berasal dari kata “sajada”, artinya tempat sujud atau tempat shalat. Dan dalam Islam, membangun masjid termasuk salah satu investasi amal yang tak putus-putus walaupun orang tersebut sudah meninggal dunia. Setiap muslim juga dianjurkan untuk senantiasa mendatangi dan memakmurkan masjid.
Sejarah
Masjid pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW sewaktu hijrah dari Mekkah ke Madinah adalah Masjid Quba, lalu kemudian Masjid Nabawi. Ciri dari kedua masjid ini hampir sama dengan masjid-masjid Madinah lainnya mengikutinya kemudian, yaitu sangat sederhana. Bentuknya empat persegi panjang, berpagar dinding batu gurun yang cukup tinggi. Tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon kurma, atapnya terbuat dari pelepah daun kurma yang dicampur dengan tanah liat. Mimbarnya juga dibuat dari potongan batang pohon kurma, memiliki mihrab, serambi dan sebuah sumur. Pola ini mengarah pada bentuk fungsional sesuai dengan kebutuhan yang diajarkan Nabi.
Biasanya masjid pada waktu itu memiliki halaman dalam yang disebut “Shaan”, dan tempat shalat berupa bangunan yang disebut “Liwan”. Beberapa waktu kemudian, pada masa khalifah yang dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin pola masjid bertambah dengan adanya “Riwaqs” atau serambi/selasar. Ini terlihat pada masjid Kuffah. Masjid yang dibangun pada tahun 637 M ini tidak lagi dibatasi oleh dinding batu atau tanah liat yang tinggi sebagaimana layaknya masjid-masjid terdahulu, melainkan dibatasi dengan kolam air. Masjid ini terdiri dan tanah lapang sebagai Shaan dan bangunan untuk shalat (liwan) yang sederhana namun terasa suasana keakraban dan suasana demokratis (ukhuwah Islamiah).
Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang-pedagang Gujarat, yang mengembangkan Islam ke Timur pada masa Khalifah bani Ummaiyah/Muawiyah dimana pusat pemerintahannya tidak lagi di Mekkah atau Madinah melainkan sudah dipindahkan ke Damsyik/Damaskus di Syria. Daerah yang mula-mula mendapat tebaran agama Islam antara lain Perlak, Samudra Pasai (Aceh) dan Palembang, pantai utara Jawa yaitu Jepara dan Tuban serta Indonesia Timur seperti Ternate, Ambon dan lain-lain, yaitu sekitar tahun 1500 M.
Sebagai tempat ibadah
Mesjid dapat diartikan sebagai suatu bangunan tempat melakukan ibadah shalat secara berjamaah atau sendiri-sendiri, serta kegiatan lain yang berhubungan dengan Islam. Selain masjid dikenal pula istilah-istilah lain seperti mushalla, langgar atau surau. Mushalla atau langgar biasanya digunakan untuk shalat wajib (fardu) sebanyak lima kali sehari semalam, serta untuk pendidikan dan pengajaran masalah-masalah keagamaan. Sedangkan masjid, digunakan juga sebagai tempat shalat berjamaah seperti shalat Jum’at, shalat hari Raya (kalau tidak di tanah lapang), shalat tarawih serta tempat i’tikaf.
Masjid juga dipakal sebagai tempat berdiskusi, mengaji dan lain-lain yang tujuan utamanya mengarah pada kebaikan. Karena sesuai dengan hadits, dikatakannya: “dimana kamu bersembahyang, disitulah masjidmu”.
Pada setiap masjid, tentunya ada hal-hal khusus yang perlu diperhatikan sesuai dengan kebutuhan peribadatan. Yang perlu diperhatikan adalah antara lain urut-urutan kegiatan shalat baik bagi laki-laki maupun wanita. Dalam Islam secara tegas dipisahkan antara jamaah laki-laki dan wanita. Dengan demikian, sejak awal masuk, bersuci (wudlu) sampai pada waktu shalat sebaiknya pemisahan itu telah dilakukan.
Ruang untuk shalat atau yang disebut Liwan, biasanya berdenah segi empat. Hal ini sesuai dengan tuntunan dalam shalat bahwa setiap jemaah menghadap kearah kiblat.dengan pandangan yang sama dan satu sama lain berdiri rapat. Shalat berjamaah dipimpin oleh seorang imam, yang berada dtengah pada posisi terdepan.
Konsep Perencanaan
Untuk merencanakan sebuah masjid sebaiknya perlu ditinjau dulu konsep dasarnya, sebagaimana juga dilakukan terhadap bangunan-bangunan lain.
Pada dasarnya untuk membangun atau merencanakan sebuah masjid hendaknya kembali kepada tuntunan-tuntunan yang terdapat pada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dalam membangun masjid, arsitek tidak dapat melihat sejarah atau bangunan-bangunan masjid yang telah ada saja, melainkan memahami atau belajar berdasarkan inti ajaran Islam itu sendiri atau menurut istilahnya “the teaching it self”. Namun, tentunya kaidah-kaidah arsitektur tetap perlu diperhatikan, sebagaimana layaknya bangunan-bangunan lain.
Kaidah-kaidah yang perlu diperhatikan bagi sebuah masjid, seperti yang dituturkan Miftah dalam bukunya berjudul “Masjid” antara lain, bahwa masjid selain mengarah ke kiblat di Masjidil Haram, Mekkah, juga hendaknya dibangun benar-benar sesuai dengan fungsi dan tujuannya, sehingga perlu dihindari kemungkinan adanya bagian-bagian bangunan atau ruangan yang memang dilarang dalam Islam. Ditekankan pula, bahwa identitas yang menunjukkan pengaruh agama-agama lain hendaknya sejauh mungkin dihindarkan walau hanya berupa elemen kecil yang samar sekalipun. Dalam hal ini perlu sekali kearifan dan kesensitifan Arsitek untuk meng-expose atau menvisualisasikan elemen-elemen konstruksi. Juga masjid hendaknya dibangun dengan biaya rendah yang tidak berlebih-lebihan serta tetap memperhatikan faktor keindahan dan kebersihan. Hal ini semua sesuai dengan tuntunan dalam Islam dan diterangkan Miftah dalam bukunya yang berjudul “Masjid”, masing-masing lengkap dengan ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Memahami inti ajaran Islam adalah mutlak. Dengan demikian masjid yang dibangun hanya berdasarkan dari sejarah atau hanya melihat masjid-masjid yang telah ada, sebenarnya kurang tepat, dalam hal ini perlu ditekankan pula motivasi dan niat yang baik dalam membangun sebuah masjid.
Mengenai perkembangan masjid di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga jalur, yaitu: pertama, perkembangan yang bertolak dari bangunan “sakral” tradisional daerah, kedua adalah perkembangan yang meniru arsitektur Masjid di Timur Tengah, dan ketiga adalah perkembangan yang baru atau modern.
Bentuk
Pada masa lampau manusia baru mengenal konstruksi sederhana yang terdiri dari kolom dan balok yang ditumpang di atasnya. Justru itu, bentuk yang terjadipun sesuai dengan konstruksinya. Kemudian, sesuai dengan tuntunan shalat bahwa shaf (barisan dalam shalat) harus lurus dan rapat, maka dicarilah bentuk yang dapat menciptakan ruang luas tanpa banyak diganggu oleh kolom-kolom. Maka tak heran kalau kemudian muncul bentuk dome. Sebagaimana diketahui, dengan bentuk dome itu, gaya-gaya dapat disalurkan melalui lengkungan-lengkungannya, sehingga tidak banyak mengganggu.
Kubah adalah ciri atau identitas masjid, dengan kubah itu tercipta suasana yang agung, sehingga manusia merasa kecil dihadapan Khaliknya. Seperti Istiqlal di Jakarta, bentuk dome membuat ruang dibawahnya memiliki suasana tenang dan orang yang sedang shalat akan merasa kecil. Kwalitas ruang yang tercipta demikian agung.
Konstruksi atau struktur lengkung banyak dipilih oleh arsitek kawakan terdahulu dalam merencanakan masjid dari pada memilih struktur balok polos (lurus) yang pasti tidak dapat dihindari seperti “cross” (persilangan) antara balok dan kolom yang dapat menjadi silent simbol atau identitas dari agama lain.
Untuk mendesain sebuah masjid, diperlukan tiga prasyarat, yang maksudnya untuk dapat menstimulir kekhusukan dalam beribadat. Ketiga prasyarat itu adalah, pertama: harus selalu bersih, dalam arti mudah dibersihkan dan mudah pemeliharaannya. Kedua, adalah tenang, yaitu menciptakan “suasana” yang dapat mendorong lahirnya ketenangan. Dan ketiga, adalah “sakral tapi ramah”.
Tujuannya menciptakan suasana yang ramah, agar setiap orang yang memasuki masjid dapat duduk sama rendah tanpa perbedaan derajat. Bukankah Islam itu agama yang sangat demokratis? Jadi, masjid harus sederhana namun kaya akan daya ungkap ke-Islam-an”.
Denah
Sejak awal dibangunnya sebuah masjid, denah yang ada berbentuk segi empat. Hal ini dilakukan secara logis sesuai dengan kebutuhan shaf-shaf dalam shalat berjamaah. Bentuk persegi akan membuat ruang-ruang yang terbentuk dapat dimanfaatkan seluruhnya, sedangkan denah yang berbentuk sudut-sudut tertentu (lancip) akan membuat ruangan banyak yang terbuang. Ini berarti, berlebih-lebihan atau mubazir.
Arah kiblat yang tidak tepat juga dapat mengakibatkan ruang-ruang terbuang percuma, sehingga dalam perencanaan sebuah masjid hal ini harus benar-benar diperhatikan.
Denah segi empat, dapat berarti bujur sangkar atau empat persegi panjang. Empat persegi panjangpun ada dua jenis, sisi panjangnya searah dengan arah kiblat atau tegak lurus arah kiblat.
Bentuk bujur sangkar membuat arah kiblat menjadi lemah karena bentuk yang cenderung memusat itu akan menimbulkan kesan ke atas yang kuat, paradoks dengan arah kiblat yang semestinya ditekankan.
Untuk denah segi empat yang sisi panjangnya searah dengan arah kiblat, para jemaah dapat dengan mudah melihat khatib (pemberi khotbah). Namun akan terjadi shaf yang relatif banyak kebelakang. Ini melemahkan sifat kesamaan (demokrasi) dalam Islam.
Bentuk lain adalah segi empat yang sisi panjangnya tegak lurus arah kiblat atau sisi terpendek searah dengan arah kiblat. Shaf yang terjadi tidaklah banyak, walau jamaah agak sulit melihat khatib pada waktu khotbah. Namun dengan sedikit menyerong, jemaah dapat melihat khatib dan hal ini tidak ada larangannya dalam Islam.
Pembagian denah untuk ruang shalat bagi wanita biasanya ditempatkan dibelakang. Dengan pembatas biasanya berupa tirai ataupun dinding kerawang yang transparan. Beberapa masjid ada juga yang menempatkan wanita di lantai atas, yang dibuat semacam balkon sehingga jemaah wanita masih dapat melihat imam.
Sesungguhnya dalam Islam, wanita tidak wajib pergi shalat ke masjid. Pergi shalat ke masjid bagi wanita hanyalah suatu perbuatan baik saja atau amal shaleh. Bahkan ada hadis meriwayatkan bahwa shalat di rumah bagi wanita lebih besar pahalanya dari pada shalat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Karena itu luas liwan untuk wanita juga relatif lebih kecil daripada liwan untuk laki-laki.
Ruang Dalam dan Ornamen
Kubah atau dome dibahagian dalam ruang masjid adalah suatu konsep untuk menciptakan suasana sakral serta perasaan diri yang sangat kecil di hadapan Khalik tanpa dipenuhi hiasan kuduniaan yang glamour yang jauh dari menimbulkan rasa sakral.
Ada beberapa corak ornamen atau ornamentik, diantaranya corak abstrak sebagai “ornamen arabesk” yang terdiri dari corak geometris dan corak “stilasi” dari tumbuh-tumbuhan dan bunga-bungaan. Hal ini adalah jalan keluar dimana adanya larangan dalam ajaran Islam untuk tidak boleh menampilkan gambar-gambar atau lukisan sebagai hiasan dengan motif manusia, binatang atau makhluk bernyawa lainnya secara realistis di dalam ruangan masjid.
Ornamen atau gaya ornamentik dapat di visualisasikan dengan huruf-huruf atau kaligrafi, seperti huruf “Arab Kufa” dan “Karmalis” adalah merupakan salah satu ornamen geometris yang berisi tulisan lafazd Al-Qur’an sebagai hiasan masjid.
Menara
Sebelum shalat dimulai, untuk menyatakan waktu shalat itu sudah tiba, biasanya dikumandangkan adzan. Pada masa lampau, adzan dilakukan di tempat-tempat yang tinggi sehingga radius penyampaiannya cukup jauh. Kemudian hal ini berkembang terus sampai akhirnya dibuat menara untuk penyebaran yang lebih jauh lagi. Dengan berkembangnya teknologi, ditemukan sistem pengeras suara yang kemudian dimanfaatkan juga untuk kegunaan adzan. Namun, tetap menggunakan menara. Dan sini terlihat bahwa fungsi menara tidak hanya sebagai simbol saja tetapi juga fungsional. Dan karena letaknya yang tinggi maka dapat saja bila kemudian dijadikan aksen atau ikon (point of interest).
Referensi :
- Majalah Bulanan “Konstruksi” Nomor 121, Mei 1988 Th. Ke-XII.
- Drs. Abdul Rochym “Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia”, Penerbit Agkasa Bandung Th. 1983.
- Drs. Abdul Rochym “Sejarah Arsitektur Islam, Sebuah Tinjauan”, Penerbit Angkasa Bandung, Th. 1983.
Contoh Identitas Tersamar (Silent Identity) :
Perhatikan menara pada gambar dibawah ini, yang merupakan disain dari sebuah menara masjid bercirikan arsitektur “post modern” dengan meletakkan atau memposisikan identitas atau simbol “bulan sabit” pada posisi mendatar (horizontal).
Dilihat pada posisi arah dari bawah atau dari atas, jelas sekali terlihat simbol “bulan sabit”-nya.
Selanjutnya coba diperhatikan dengan cermat, kalau kita lihat dari posisi pandang yang berbeda, yaitu pada posisi pandangan mendatar (horizontal) atau dilihat dari jauh, menara masjid tersebut akan terlihat seperti identitas atau simbol ”palang atau cross”.
Hal semacam inilah salah satu contoh yang dimaksud dengan simbol atau identitas tersamar (silent identity) seperti yang dikemukakan pada tulisan (artikel) diatas yang harus dihindari dalam mendisain sebuah masjid.
http://arsitekturdanbangunan.blogspot.com/search/label/Ilmu%20Arsitektur