“The city is the people” begitu ungkapan sebuah pepatah tua. Begitu dalam maknanya, namun begitu berat mengaplikasikannya. Di Jakarta, kehidupan kota lebih terbiasa diselami dari balik jendela mobil. Kasihan orang Jakarta. Sudah diberi iklim panas tropis, tidak ada pula sarana untuk berbudaya urban yang positif karena memang tidak pernah disediakan secara memadai. Tidak disediakan karena tidak menjadi prioritas. Tidak diprioritaskan karena kita umumnya tidak memiliki mentalitas membangun ruang publik.
Mentalitas anti budaya urban ini juga lahir dari lingkungan fisik yang dirancang para arsitek. Banyak arsitek yang memiliki proyek-proyek komersial dan dalam skala besar tidak memiliki sensitivitas terhadap konteks kota. Mereka hanya fokus pada arsitekturnya tidak pada konteksnya. Sehingga bermunculan belasan dan puluhan bangunan-bangunan anti urban yang semakin akut.
Apa ciri-ciri desain anti urban?
Fungsi non-publik di lantai dasar.
Salah satu ciri kota yang aktif secara positif adalah hadirnya fungsi-fungsi publik atau retail di lantai dasar sebuah bangunan. Di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, lantai dasar sebuah bangunan besar umumnya adalah ruang lobi formal yang tidak menyumbang apa-apa bagi kehidupan kota. Lihat Hong Kong. Sepanjang kita berjalan semua lantai dasar bangunan-bangunannya selalu diisi oleh toko, retail, kafé atau fungsi-fungsi publik yang membuat kota hidup dan atraktif sampai larut malam.
Kapling-kapling egois
Manusia sebagai mahluk sosial berkewajiban berperilaku sosial yang positif dan bertoleransi antar sesama. Begitu pula arsitektur kota. Seharusnya antar bangunan satu dengan lainnya bertoleransi dengan memberikan ruang untuk kelancaran publik bernegosiasi terhadap ruang kota. Di Bukit Bintang Walk di Kuala Lumpur, antar bangunannya tidak di kapling-kapling dan dibentengi ala Jakarta. Pedestrian di sana leluasa bergerak dari satu bangunan ke bangunan lain. Bahkan di Hong Kong antar bangunan dikoneksi dengan jembatan untuk publik.
Parkir dan drop-off di halaman depan.
Ruang paling berharga dalam konteks kota adalah ruang terbuka di depan bangunan, yaitu area dari batas lahan ke garis sempadan bangunan. Sayangnya para arsitek di Indonesia dengan rasa tidak bersalah selalu menjadikannya sebagai ruang parkir dengan drop-off formal. Parkir sebenarnya bisa langsung ke basemen dan drop-off bisa dari jalan samping atau di dalam kapling. Area inilah yang bisa berpotensi menjadi ruang sosial publik berupa ruang hijau, ruang duduk atau ruang luar dari sebuah kafe di lantai dasar. Perilaku desain ini yang dihadirkan di ratusan bangunan di kota-kota besar di Indonesia benar-benar mematikan potensi lahirnya kehidupan yang beradab dan aktif.COPYRIGHT@http://urbaneindonesia.blogspot.com/2008/07/arsitektur-kota-anti-kota.html
blog yg menarik dan sumber inspirasi sy..:) terima kasih
BalasHapus