Rabu, 16 Maret 2011

Konsep Dasar Arsitektur Masjid

Pendahuluan

Nabi Muhammad Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu hadis bahwa “Seluruh permukaan bumi ini adalah tempat sujud” Maksudnya, adalah bahwa dimana saja tempat di muka bumi ini dapat digunakan untuk tempat shalat, tentunya tempat yang bersih dan tidak bemajis.

Dan untuk lebih tenang dan sesuai dengan ajaran Islam, dibangunlah masjid sebagai tempat untuk shalat. Masjid digunakan untuk shalat bersama-sama (berjamaah) yang menurut ajaran Islam lebih baik dari pada shalat sendiri-sendiri (mufarid).

Masjid berasal dari kata “sajada”, artinya tempat sujud atau tempat shalat. Dan dalam Islam, membangun masjid termasuk salah satu investasi amal yang tak putus-putus walaupun orang tersebut sudah meninggal dunia. Setiap muslim juga dianjurkan untuk senantiasa mendatangi dan memakmurkan masjid.

Sejarah

Masjid pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW sewaktu hijrah dari Mekkah ke Madinah adalah Masjid Quba, lalu kemudian Masjid Nabawi. Ciri dari kedua masjid ini hampir sama dengan masjid-masjid Madinah lainnya mengikutinya kemudian, yaitu sangat sederhana. Bentuknya empat persegi panjang, berpagar dinding batu gurun yang cukup tinggi. Tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon kurma, atapnya terbuat dari pelepah daun kurma yang dicampur dengan tanah liat. Mimbarnya juga dibuat dari potongan batang pohon kurma, memiliki mihrab, serambi dan sebuah sumur. Pola ini mengarah pada bentuk fungsional sesuai dengan kebutuhan yang diajarkan Nabi.

Biasanya masjid pada waktu itu memiliki halaman dalam yang disebut “Shaan”, dan tempat shalat berupa bangunan yang disebut “Liwan”. Beberapa waktu kemudian, pada masa khalifah yang dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin pola masjid bertambah dengan adanya “Riwaqs” atau serambi/selasar. Ini terlihat pada masjid Kuffah. Masjid yang dibangun pada tahun 637 M ini tidak lagi dibatasi oleh dinding batu atau tanah liat yang tinggi sebagaimana layaknya masjid-masjid terdahulu, melainkan dibatasi dengan kolam air. Masjid ini terdiri dan tanah lapang sebagai Shaan dan bangunan untuk shalat (liwan) yang sederhana namun terasa suasana keakraban dan suasana demokratis (ukhuwah Islamiah).

Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang-pedagang Gujarat, yang mengembangkan Islam ke Timur pada masa Khalifah bani Ummaiyah/Muawiyah dimana pusat pemerintahannya tidak lagi di Mekkah atau Madinah melainkan sudah dipindahkan ke Damsyik/Damaskus di Syria. Daerah yang mula-mula mendapat tebaran agama Islam antara lain Perlak, Samudra Pasai (Aceh) dan Palembang, pantai utara Jawa yaitu Jepara dan Tuban serta Indonesia Timur seperti Ternate, Ambon dan lain-lain, yaitu sekitar tahun 1500 M.

Sebagai tempat ibadah

Mesjid dapat diartikan sebagai suatu bangunan tempat melakukan ibadah shalat secara berjamaah atau sendiri-sendiri, serta kegiatan lain yang berhubungan dengan Islam. Selain masjid dikenal pula istilah-istilah lain seperti mushalla, langgar atau surau. Mushalla atau langgar biasanya digunakan untuk shalat wajib (fardu) sebanyak lima kali sehari semalam, serta untuk pendidikan dan pengajaran masalah-masalah keagamaan. Sedangkan masjid, digunakan juga sebagai tempat shalat berjamaah seperti shalat Jum’at, shalat hari Raya (kalau tidak di tanah lapang), shalat tarawih serta tempat i’tikaf.

Masjid juga dipakal sebagai tempat berdiskusi, mengaji dan lain-lain yang tujuan utamanya mengarah pada kebaikan. Karena sesuai dengan hadits, dikatakannya: “dimana kamu bersembahyang, disitulah masjidmu”.

Pada setiap masjid, tentunya ada hal-hal khusus yang perlu diperhatikan sesuai dengan kebutuhan peribadatan. Yang perlu diperhatikan adalah antara lain urut-urutan kegiatan shalat baik bagi laki-laki maupun wanita. Dalam Islam secara tegas dipisahkan antara jamaah laki-laki dan wanita. Dengan demikian, sejak awal masuk, bersuci (wudlu) sampai pada waktu shalat sebaiknya pemisahan itu telah dilakukan.

Ruang untuk shalat atau yang disebut Liwan, biasanya berdenah segi empat. Hal ini sesuai dengan tuntunan dalam shalat bahwa setiap jemaah menghadap kearah kiblat.dengan pandangan yang sama dan satu sama lain berdiri rapat. Shalat berjamaah dipimpin oleh seorang imam, yang berada dtengah pada posisi terdepan.

Konsep Perencanaan

Untuk merencanakan sebuah masjid sebaiknya perlu ditinjau dulu konsep dasarnya, sebagaimana juga dilakukan terhadap bangunan-bangunan lain.

Pada dasarnya untuk membangun atau merencanakan sebuah masjid hendaknya kembali kepada tuntunan-tuntunan yang terdapat pada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Dalam membangun masjid, arsitek tidak dapat melihat sejarah atau bangunan-bangunan masjid yang telah ada saja, melainkan memahami atau belajar berdasarkan inti ajaran Islam itu sendiri atau menurut istilahnya “the teaching it self”. Namun, tentunya kaidah-kaidah arsitektur tetap perlu diperhatikan, sebagaimana layaknya bangunan-bangunan lain.

Kaidah-kaidah yang perlu diperhatikan bagi sebuah masjid, seperti yang dituturkan Miftah dalam bukunya berjudul “Masjid” antara lain, bahwa masjid selain mengarah ke kiblat di Masjidil Haram, Mekkah, juga hendaknya dibangun benar-benar sesuai dengan fungsi dan tujuannya, sehingga perlu dihindari kemungkinan adanya bagian-bagian bangunan atau ruangan yang memang dilarang dalam Islam. Ditekankan pula, bahwa identitas yang menunjukkan pengaruh agama-agama lain hendaknya sejauh mungkin dihindarkan walau hanya berupa elemen kecil yang samar sekalipun. Dalam hal ini perlu sekali kearifan dan kesensitifan Arsitek untuk meng-expose atau menvisualisasikan elemen-elemen konstruksi. Juga masjid hendaknya dibangun dengan biaya rendah yang tidak berlebih-lebihan serta tetap memperhatikan faktor keindahan dan kebersihan. Hal ini semua sesuai dengan tuntunan dalam Islam dan diterangkan Miftah dalam bukunya yang berjudul “Masjid”, masing-masing lengkap dengan ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Memahami inti ajaran Islam adalah mutlak. Dengan demikian masjid yang dibangun hanya berdasarkan dari sejarah atau hanya melihat masjid-masjid yang telah ada, sebenarnya kurang tepat, dalam hal ini perlu ditekankan pula motivasi dan niat yang baik dalam membangun sebuah masjid.

Mengenai perkembangan masjid di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga jalur, yaitu: pertama, perkembangan yang bertolak dari bangunan “sakral” tradisional daerah, kedua adalah perkembangan yang meniru arsitektur Masjid di Timur Tengah, dan ketiga adalah perkembangan yang baru atau modern.

Bentuk

Pada masa lampau manusia baru mengenal konstruksi sederhana yang terdiri dari kolom dan balok yang ditumpang di atasnya. Justru itu, bentuk yang terjadipun sesuai dengan konstruksinya. Kemudian, sesuai dengan tuntunan shalat bahwa shaf (barisan dalam shalat) harus lurus dan rapat, maka dicarilah bentuk yang dapat menciptakan ruang luas tanpa banyak diganggu oleh kolom-kolom. Maka tak heran kalau kemudian muncul bentuk dome. Sebagaimana diketahui, dengan bentuk dome itu, gaya-gaya dapat disalurkan melalui lengkungan-lengkungannya, sehingga tidak banyak mengganggu.

Kubah adalah ciri atau identitas masjid, dengan kubah itu tercipta suasana yang agung, sehingga manusia merasa kecil dihadapan Khaliknya. Seperti Istiqlal di Jakarta, bentuk dome membuat ruang dibawahnya memiliki suasana tenang dan orang yang sedang shalat akan merasa kecil. Kwalitas ruang yang tercipta demikian agung.

Konstruksi atau struktur lengkung banyak dipilih oleh arsitek kawakan terdahulu dalam merencanakan masjid dari pada memilih struktur balok polos (lurus) yang pasti tidak dapat dihindari seperti “cross” (persilangan) antara balok dan kolom yang dapat menjadi silent simbol atau identitas dari agama lain.

Untuk mendesain sebuah masjid, diperlukan tiga prasyarat, yang maksudnya untuk dapat menstimulir kekhusukan dalam beribadat. Ketiga prasyarat itu adalah, pertama: harus selalu bersih, dalam arti mudah dibersihkan dan mudah pemeliharaannya. Kedua, adalah tenang, yaitu menciptakan “suasana” yang dapat mendorong lahirnya ketenangan. Dan ketiga, adalah “sakral tapi ramah”.

Tujuannya menciptakan suasana yang ramah, agar setiap orang yang memasuki masjid dapat duduk sama rendah tanpa perbedaan derajat. Bukankah Islam itu agama yang sangat demokratis? Jadi, masjid harus sederhana namun kaya akan daya ungkap ke-Islam-an”.

Denah

Sejak awal dibangunnya sebuah masjid, denah yang ada berbentuk segi empat. Hal ini dilakukan secara logis sesuai dengan kebutuhan shaf-shaf dalam shalat berjamaah. Bentuk persegi akan membuat ruang-ruang yang terbentuk dapat dimanfaatkan seluruhnya, sedangkan denah yang berbentuk sudut-sudut tertentu (lancip) akan membuat ruangan banyak yang terbuang. Ini berarti, berlebih-lebihan atau mubazir.

Arah kiblat yang tidak tepat juga dapat mengakibatkan ruang-ruang terbuang percuma, sehingga dalam perencanaan sebuah masjid hal ini harus benar-benar diperhatikan.

Denah segi empat, dapat berarti bujur sangkar atau empat persegi panjang. Empat persegi panjangpun ada dua jenis, sisi panjangnya searah dengan arah kiblat atau tegak lurus arah kiblat.

Bentuk bujur sangkar membuat arah kiblat menjadi lemah karena bentuk yang cenderung memusat itu akan menimbulkan kesan ke atas yang kuat, paradoks dengan arah kiblat yang semestinya ditekankan.

Untuk denah segi empat yang sisi panjangnya searah dengan arah kiblat, para jemaah dapat dengan mudah melihat khatib (pemberi khotbah). Namun akan terjadi shaf yang relatif banyak kebelakang. Ini melemahkan sifat kesamaan (demokrasi) dalam Islam.

Bentuk lain adalah segi empat yang sisi panjangnya tegak lurus arah kiblat atau sisi terpendek searah dengan arah kiblat. Shaf yang terjadi tidaklah banyak, walau jamaah agak sulit melihat khatib pada waktu khotbah. Namun dengan sedikit menyerong, jemaah dapat melihat khatib dan hal ini tidak ada larangannya dalam Islam.

Pembagian denah untuk ruang shalat bagi wanita biasanya ditempatkan dibelakang. Dengan pembatas biasanya berupa tirai ataupun dinding kerawang yang transparan. Beberapa masjid ada juga yang menempatkan wanita di lantai atas, yang dibuat semacam balkon sehingga jemaah wanita masih dapat melihat imam.

Sesungguhnya dalam Islam, wanita tidak wajib pergi shalat ke masjid. Pergi shalat ke masjid bagi wanita hanyalah suatu perbuatan baik saja atau amal shaleh. Bahkan ada hadis meriwayatkan bahwa shalat di rumah bagi wanita lebih besar pahalanya dari pada shalat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Karena itu luas liwan untuk wanita juga relatif lebih kecil daripada liwan untuk laki-laki.

Ruang Dalam dan Ornamen

Kubah atau dome dibahagian dalam ruang masjid adalah suatu konsep untuk menciptakan suasana sakral serta perasaan diri yang sangat kecil di hadapan Khalik tanpa dipenuhi hiasan kuduniaan yang glamour yang jauh dari menimbulkan rasa sakral.

Ada beberapa corak ornamen atau ornamentik, diantaranya corak abstrak sebagai “ornamen arabesk” yang terdiri dari corak geometris dan corak “stilasi” dari tumbuh-tumbuhan dan bunga-bungaan. Hal ini adalah jalan keluar dimana adanya larangan dalam ajaran Islam untuk tidak boleh menampilkan gambar-gambar atau lukisan sebagai hiasan dengan motif manusia, binatang atau makhluk bernyawa lainnya secara realistis di dalam ruangan masjid.

Ornamen atau gaya ornamentik dapat di visualisasikan dengan huruf-huruf atau kaligrafi, seperti huruf “Arab Kufa” dan “Karmalis” adalah merupakan salah satu ornamen geometris yang berisi tulisan lafazd Al-Qur’an sebagai hiasan masjid.



Menara

Sebelum shalat dimulai, untuk menyatakan waktu shalat itu sudah tiba, biasanya dikumandangkan adzan. Pada masa lampau, adzan dilakukan di tempat-tempat yang tinggi sehingga radius penyampaiannya cukup jauh. Kemudian hal ini berkembang terus sampai akhirnya dibuat menara untuk penyebaran yang lebih jauh lagi. Dengan berkembangnya teknologi, ditemukan sistem pengeras suara yang kemudian dimanfaatkan juga untuk kegunaan adzan. Namun, tetap menggunakan menara. Dan sini terlihat bahwa fungsi menara tidak hanya sebagai simbol saja tetapi juga fungsional. Dan karena letaknya yang tinggi maka dapat saja bila kemudian dijadikan aksen atau ikon (point of interest).

Referensi :

  1. Majalah Bulanan “Konstruksi” Nomor 121, Mei 1988 Th. Ke-XII.
  2. Drs. Abdul Rochym “Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia”, Penerbit Agkasa Bandung Th. 1983.
  3. Drs. Abdul Rochym “Sejarah Arsitektur Islam, Sebuah Tinjauan”, Penerbit Angkasa Bandung, Th. 1983.

Contoh Identitas Tersamar (Silent Identity) :

Perhatikan menara pada gambar dibawah ini, yang merupakan disain dari sebuah menara masjid bercirikan arsitektur “post modern” dengan meletakkan atau memposisikan identitas atau simbol “bulan sabit” pada posisi mendatar (horizontal).

Dilihat pada posisi arah dari bawah atau dari atas, jelas sekali terlihat simbol “bulan sabit”-nya.

Selanjutnya coba diperhatikan dengan cermat, kalau kita lihat dari posisi pandang yang berbeda, yaitu pada posisi pandangan mendatar (horizontal) atau dilihat dari jauh, menara masjid tersebut akan terlihat seperti identitas atau simbol ”palang atau cross”.

Hal semacam inilah salah satu contoh yang dimaksud dengan simbol atau identitas tersamar (silent identity) seperti yang dikemukakan pada tulisan (artikel) diatas yang harus dihindari dalam mendisain sebuah masjid.


http://arsitekturdanbangunan.blogspot.com/search/label/Ilmu%20Arsitektur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar