Selasa, 19 April 2011

Proses Perancangan yang 'Irreversible'

Bentuk geometri pada masa arsitektur klasik memakai dan hanya mau mengakui bentuk euclidian atau non-euclidian, pemakaian diluar bentuk-bentuk tersebut tidak akan diakui sebagai bentuk geometri. Saat ini, arsitektur telah berkembang pesat, bentuk geometri tidaklah se-kaku masa arsitektur klasik, bentuk-bentuk geometri telah berkembang bebas. Metode perancangan baru memunculkan Bentuk -bentuk yang in-konvensional, sebuah bentuk geometri baru. Terbukti bahwa definisi geometri sejak masa klasik hingga saat ini telah berubah dan mungkin saja kedepannya akan ditemukan bentuk atau definisi geometri baru, semuanya bersifat relatif. Sekalipun demikian, penulis mengakui bahwa geometri itu luas dan bebas. Arsitek yang memiliki pemahaman ruang yang luas dan mampu mengeksploitasi bentuk akan menghasilkan karya arsitektur yang kaya, bebas dan tidak kaku.

Bentuk geometri ada setelah sang perancang telah melakukan tahapan ”perancangan”. Namun satu hal yang perlu diketahui, kita adalah arsitek – bukan seniman. Proses merancang seorang arsitek tidak sesederhana seorang seniman patung. Tulisan ini tidak akan membahas seberapa luas bentuk geometri (yang sudah saya simpulkan sangat luas dan bebas), namun tulisan ini akan membahas bagaimana proses perancangan arsitektur sehingga membentuk sebuah bentuk geometri.

Setujunya saya akan pendapat bahwa ‘geometri mengikat perancangan’ terkait dengan perjalanan saya setelah melewati serangkaian proses perancangan arsitektur. Ada sebuah kecenderungan untuk pendekatan perancangan yang mem-bypass sejumlah tahapan pra-perancangan seperti analisis site, konsep fungsi, dan studi tipologi. Seringkali tahapan tersebut hanya ditempatkan di belakang atau sekedar dilampirkan dalam lembar penyajian akhir sebagai formalitas belaka, sebuah proses perancangan yang terbalik. Ironisnya, metode tersebut banyak ’bertengger’ dalam banyak proses perancangan, dan harus saya akui metode tersebut seringkali menghasilkan massa yang sangat kaya secara geometri, namun gagal secara makna bila dikaitkan dengan lingkungan sekitar atau konteks tempat.



Gambar 1. Cuidad de la Cultura de Galicia, Santiago, Spanyol (Steele, 2005: 236)
Sumber: Steel, 2005: 236


Amos Rapoport juga mengakui bahwa faktor diatas tidak bersifat statis namun bersifat dinamis sehingga model vernakular akan terus berevolusi seiring dengan berubahnya faktor diatas. Keenam faktor diatas membuktikan bahwa bentuk geometri dari model vernakular merupakan hasil trial & error setelah melalui evaluasi dari beragam force yang ada. Evolusi dari model vernakular terus berkembang menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai arsitektur modern. Diawali dari arsitektur klasik (baroque, ecclictism, art nouveau, victorian dll) dan diakhiri dengan gaya arsitektur post-modern. Keseluruhan gaya arsitektur modern diatas tidak hanya berdiri sendiri namun juga mengalami proses trial and error menghadapi beragamnya faktor atau force yang ada. Yang membedakan arsitektur modern dengan arsitektur vernakular adalah evolusi atau berkembangnya motivasi pembentuknya – force-nya.

Bila dikaitkan dengan teori segitiga Maslow, kehadiran model vernakular cenderung dimotivasi untuk memenuhi kebutuhan survival atau rasa aman manusia (motivasi terbawah) sedangkan arsitektur modern ada karena motivasi aktualisasi diri (motivasi teratas). Meskipun demikian pendapat tersebut tidak bersifat baku, banyak bangunan vernakular yang dibangun dengan motivasi aktualisasi diri sebaliknya sama dengan bangunan modern (Gossel, 2005). Terlepas dari perbedaan yang ada, pembentukan sebuah karya arsitektur (tradisional, modern) sama dengan pembentukan bentuk organik, keduanya dipengaruhi oleh kehadiran force yang ada, resultannya adalah sebuah form - bentuk geometri. Sehingga, Proses perancangan yang penulis maksud bermakna perancangan bentuk - form dengan berusaha merespon force yang ada. Pemakaian kata ”irreversible” (tidak dapat dibalik) menjelaskan bahwa tahapan dalam merancang tidak dapat dibalik; form yang dirancang tanpa pertimbangan force akan gagal dengan sendirinya karena tidak dapat membendung kemauan force – gagal beradaptasi.


Gambar 2. Pengaruh ruang kota Santiago terhadap denah museum (Steele, 2005: 364)
Sumber: Steel, 2005: 364

Museum yang terletak di kota Santiago ini merupakan hasil sayembara yang dimenangkan oleh Peter Eisenman. Bentuk bangunan ini merupakan imitasi dari lansekap asli tapak yang juga disesuaikan dengan bentuk scallop shell (Gossel, 2005: 364) yang secara tradisional biasa digunakan peziarah menuju kota Santiago. Sirkulasi yang ada dalam massa didasari dari sirkulasi yang ada di tengah kota (lihat gambar bawah) dimaksudkan bahwa bangunan ini seluruhnya terkait dengan sekitarnya. Karya ini menang dalam sayembara karena keberhasilan Eisenman untuk mewadahi penghormatan masyarakat kota Santiago akan ruang terbuka sekaligus menunjukkan bahwa museum ini merupakan citra dari kota Santiago yang religius (Steel, 2005: 242).


Expo ’67 Dome, Montreal

Gambar 3. Expo'67 Dome, Montreal (Steele, 2005: 142)
Sumber: Steel, 2005: 142

Perancang bangunan ini adalah Richard Buckminster Fuller. seorang arsitek yang dianggap ahead of its time. Expo tahun 1967 pada dasarnya merupakan salah satu karyanya yang terakhir namun dianggap trademark dari keseluruhan karya Fuller (Steele, 2005: 142). Bangunan ini memiliki bentuk geometri bulat/dome setinggi 76 meter dengan bentuk rangkaian segitiga sebagai dasar pembentuknya. Dengan bantuan Teknologi dan ilmu geometri, Fuller mendedikasikan hidupnya untuk melakukan inovasi Bentuk arsitektural dengan dasar efisiensi, murah, dan hemat energi. Salah satu filosofi yang dipegang teguh sampai akhir hidupnya adalah “use a minimum amount of material to contain a maximum amount of space” (Steele, 2005: 144). Motivasi dan konsep perancangan Fuller dianggap banyak kalangan sebagai salah satu arsitek avant-garde yang mengusung tema sustainable, merespon terhadap isu perubahan iklim (Steele, 2005: 147).


Sebenarnya apa yang ingin diungkapkan penulis dari 2 contoh diatas?. Eisenmann dan Fuller, dua arsitek yang lahir dari jaman yang berbeda, memiliki metode atau konsep perancangan yang berbeda, sehingga apa yang menjadi benang merah keduanya? Keduanya sama-sama berusaha merespon terhadap need (kebutuhan) atau demand (permintaan) yang ada. Keduanya sama-sama berusaha untuk merespon force yang ada. Eisenmann dalam Cuidad de la Cultura berusaha merespon kebutuhan akan sosial-budaya. Fuller berusaha merespon kebutuhan akan efisisiensi ekonomi dan perbaikan lingkungan. Kedua arsitek tersebut merupakan satu dari segelintir arsitek yang berusaha menyelesaikan permasalahan - problem solving architect yang menyesuaikan diri terhadap force yang ada. Force sendiri disini merupakan isu utama, bukan form-nya.

Bagaimana kita sebagai arsitek berusaha mengenali force yang ada? jawabannya sederhana, yaitu melakukan analisis site, analisis kebutuhan, analisis tipologi, dan segala macam analisis perancangan lainnya sebelum membentuk geometri massa. jawaban tersebut seakan menjadi anti-klimaks tulisan ini, namun proses tersebut memang selalu, akan dan harus dilakukan sebelum kita membentuk massa. Segala macam proses tersebut hanya bisa dilakukan di awal bukan diakhir (setelah terbentuknya massa); proses perancangan yang tidak dapat dibalik (irreversible).

Inti dari tulisan ini memang sederhana, hanya mengulang apa yang biasa kita temui dalam perancangan biasa. Namun dalam prakteknya ternyata tidak sesederhana itu, pembalikan proses perancangan banyak dilakukan oleh para praktisi arsitektur di dunia, dengan mengesampingkan analisis dan konsep dan mengutamakan tampilan visual. Kekayaan bentuk yang ada dalam geometri tidak bisa disalah-fungsikan hanya sekedar untuk menjajakan diri kepada konsumen. Namun, geometri dan segala macam kekayaan yang terkandung didalamnya harus mengandung makna akan sebuah usaha penyelesaian masalah. Ter-ikat-nya suatu bentuk geometri dengan proses perancangan arsitektur yang tidak bisa terbalik, membuatnya tidak bisa terbentuk dengan bebas semau sang perancang.

the shape or form is made by the resultant of a number of force” (D’Arcy Thompson)

Referensi

Thompson, D. (1961). On Growth and Form. Cambridge University Press.

Rapoport, A. (1969). House Form and Culture. Prentice Hall International.

Gossel, P. (2005). Architecture in the 20th Century. Taschen.

Steel, J. (2005). Ecological Architecture: A Critical History. Hudson.

copyright@all

Tidak ada komentar:

Posting Komentar